Thursday, December 9, 2010

Sebuah Narasi Perjalanan


MENJADI RELAWAN MERAPI

Oleh: Arif Firmansyah

universitas paramadina, 6 Desember 2010

Jumat, 12 November 2010. Jam 09.30 ketika bunyi sms berdering di atas tempat tidur, lalu saya membacanya “ke Yogya yuk rif, jadi relawan merapi!” tanpa pikir panjang saya langsung membalas “oke, yuk!”. Pengirim merupakan Bandega Adhi Prasetyo, mahasiswa psikologi universitas paramadina, tinggal di Bekasi. Sahabat yang baru saya kenal satu tahun inilah yang akan saya temui sesampainya di kampus. Sesampainya di kampus, saya mencari sahabat-sahabat saya yang seperti biasa berada di smoking room, saya langsung bertanya “kapan kita berangkat? Apa kalian yakin?” mereka menjawab, “iya, kita yakin, kita memang jarang masuk kuliah dan IP kita kurang dari dua, tetapi kita mempunyai solidaritas, kita merasa terpanggil untuk ke Yogya, jadi relawan walaupun yang kita bantu ‘ga seberapa, minimal kita mencoba menemani mereka (pengungsi, korban letusan gunung Merapi). Dalam hatiku hanya dapat menjawab, “support them as best as I can”.

Lalu aku menyebutkan list yang harus kita persiapkan sebelum berangkat, seperti: membuat surat ijin, profil singkat relawan, menggalang dana, tujuan ke LSM/organisasi apa dan semua administrasi harus sudah selesai hari senin. Setelah administrasi selesai, kita menggalang dana agar bantuan yang kita berikan kuantitas dan kualitasnya bertambah. Hanya tiga hari untuk penggalangan dana, puji Tuhan kita mendapatkan dana Rp. 4.750.000 dan semuanya akan diberikan kepada tim relawan korban merapi, sekaligus partner kerja kita d Yogyakarta nanti, Central for Public Mental Health (CPMH), Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kamis, 18 November 2010, satu hari sesudah perayaan idul adha merupakan hari bersejarah untuk kita berlima, yaitu: Ahmad Saufani, Arif Firmansyah, Bandega Adhi Prasetyo, Fadhil dan Tabah Aries Nurjaman, lima mahasiswa psikologi universitas paramadina, Jakarta, yang berasal dari kampung halaman yang berbeda-beda berangkat menuju UGM-Yogyakarta. Jam 9.30 kita berangkat dengan dukungan dan doa teman-teman serta orang tua dan dosen-dosen. Thanks guys for everything.

Selama perjalanan hingga ke Indramayu semuanya berjalan lancar, kami mengisi waktu dengan berdiskusi buku, diskusi tentang negara, kemanusiaan, tokoh-tokoh dunia, bermain tebak-tebakan, bercanda gurau dan mendengarkan lagu. Perjalanan hanya terasa sulit di daerah Indramayu karena kondisi jalan yang buruk, banyak jalan rusak dimana-mana hingga akhirnya kita tiba di kediaman neneknya Bandega pukul 22.08 di daerah Klaten, tempat dimana kita akan menginap. Sesampainya di rumah, kita langsung berbincang-bincang dengan Om dari Bandega tentang situasi dan kondisi gunung Merapi, pengungsi dan daerah-daerah di sekitar gunung Merapi, hingga ingin mengetahui tentang mitos-mitos mbah Maridjan meninggal, For Your Information ada yang bilang meninggalnya mbah Maridjan juga merupakan kontrak kerja antara Merapi dan mbah Maridjan, Wallahu ‘alam Bishowab.

Jumat, 19 November 2010, pukul 05.00 kita sudah bangun dan bersiap-siap ke kampus UGM. Tiba di kampus UGM pukul 08.30, kita langsung bertemu dengan mas Joko, koordiantor relawan psikologi UGM, kita berbincang-bincang sangat banyak dan cukup lama. Mereka bercerita tentang situasi dan kondisi ketika sedang dalam masa amukan merapi. Mereka menggambarkan bahwa sekarang kondisi telah membaik, karena untuk di daerah Yogyakarta merupakan pusat bantuan, jadi bantuan untuk korban yang berada di Yogyakarta sudah sangat memenuhi.

Kita bertanya, “apa yang menjadi tugas kita selama dua hari ini?” ternyata kita akan diperbantukan di tempat yang pernah menjadi tempat pengungsian terbesar dan terbanyak dalam menampung korban letusan gunung merapi, stadion Maguwoharjo. Dengan penuh semangat kita pergi ke stadion Maguwoharjo, dan sesampainya kita kesana, semua yang berada di dalam mobil terdiam melihat pemandangan tempat pengungsian. Keadaan yang kita lihat sebenarnya merupakan situasi dan kondisi yang sepuluh kali lipat lebih baik dibanding ketika masa terparah letusan gunung merapi waktu itu.

Hari itu, kami keliling stadion, dari luar sampai ke dalam, dari lantai 1 sampai lantai 2. Kita melihat dengan penuh haru, kasian dan ingin sekali rasanya membantu. Tiba saatnya sholat Jumat membuat semakin terasa di dalam pengungsian; panas, gersang dan menyedihkan mungkin, merupakan gambaran yang sering membuat kita bingung apakah harus meminta ampun karena jarang bersyukur atau bersyukur karena kita lebih baik daripada mereka yang sendirian, ditinggal semua keluarganya karena meninggal dan tidak punya harta benda lagi.

Seharian itu kami sibuk dalam rangka persiapan mengadakan pentas seni untuk para pengungsi, kita mengangkat alat musik yang lumayan berat dan jaraknya agak jauh. Dengan perasaan yang penuh semangat dan ingin membantu semaksimal mungkin, tak terasa jam sudah menunjukan pukul 17.30, kita lupa makan siang; waktu luang kita gunakan untuk mengobrol dengan para pengungsi.

Ada hal yang unik di hari ini, aku menemukan seorang turis yang sedang mengajak bicara anak kecil korban pengungsian, langsung saja aku berusaha mendekat dan lantas mengajak dia mengobrol, “can I help you?” My name is Arif, I’m a volunteer here, you?”. “I’m Christine, I’m from Washington, I went to Mentawai several weeks ago and I heard about Merapi here, I wanna invite children here to swim tomorrow”. Kata dia dengan penuh semangat. Oh great!, do you need my help? Kataku, “o ya, thanks, please help me to annouce to other children”, pintanya, “ok”. Setelah mengucapkan “nice to meet you” satu sama lain kita pun berpisah.

Aku mencoba untuk menghubungi CPMH tentang hal ini, aku bertemu dengan Rahmat Hidayat, Ph.D, ketua CPMH. Dia menjelaskan Ms. Christine ini adalah seseorang yang mempunyai niat baik, tetapi dia tidak ingat bahwa adanya prosedur disini, keselamatan anak-anak, jika anak jatuh atau hilang ketika berenang, siapa yang mau bertanggung jawab. Maka dari itu, CPMH tidak berani menanggung akibatnya. Begitu dapat informasi ini, aku mencari Ms. Christine bersama Fadil dan menjelaskan kepadanya tentang semuanya. Dia menganggap ini bukanlah masalah, dia tetap mencari jalan keluarnya. Keesokan harinya aku ditelpon bahwa Ms. Christine dibantu langsung oleh Bupati Sleman, Alhamdulillah, where there is a will, there is a way.

Setelah makan di HokBen Yogyakarta, kita mencari penginapan di sekitar Malioboro. Aku tidur setelah mandi, jam 21.00. kita bangun jam 6 di Sabtu pagi, kita semua mengalami sakit-sakit di sekujur badan, karena capek. Jam 9 kita ke UGM lagi, setelah briefing tentang teknis kompetisi catur, karambol dan bola volli, kita berangkat membeli peralatan tersebut, 20 catur, 2 karambol dan 1 net bola volli. Sore hari kita berpamitan pulang kepada semua anggota relawan, senang rasanya mendengarkan semua orang mengucapkan terima kasih, bangga banget.

Sore hari kita keliling Malioboro sebentar dengan menggunakan Becak, Cuma Rp. 5.000 untuk keliling pusat kota Yogyakarta. Lalu, kita kembali pulang ke Sleman untuk menginap disana. Minggu, jam 6 pagi, kita kembali pulang di Jakarta. Jam 19.00 kita sampai di rumah masing-masing dengan membawa kebahagiaan dan kebanggaan mendapat oleh-oleh Rompi relawan dan Name tag, kenang-kenangan yang tak terlupakan bersama sahabat.

Semuanya indah pada waktunya.” (Bandega Adhi Prasetyo, 2010).

No comments:

Post a Comment