Monday, July 23, 2012

MENDIDIK


“Arif, kalau sudah besar ingin jadi apa?” Tanya Bapak Guru, Ibu Guru, kepala sekolah, sanak famili hingga para tetangga di sekitar rumah, “ingin jadi Guru Bu/Pak/Kak” Jawab aku ketika masih duduk di kelas 2 SD. Sejak berumur lima tahun aku sudah diajari bagaimana belajar dengan sangat tegas oleh kakek aku yang hanya memiliki satu kaki, menghitung “1 + 2 = 2”, aku langsung dipukul dengan sebuah tongkat, membaca “Ini ibu Budi” sambil bercampur dengan suara dan batuk akibat tangisan. Sakit? Iya! Menyakitkan? Pasti! Tapi mengapa aku ingin menjadi seorang guru?

Dididik seperti itu pada anak yang tidak merasakan bangku Taman Kanak-kanak membuatku merasakan hasilnya pada kelas 1 SD dimana ketika aku sudah berumur 7 tahun, hasil ini terus berlanjut hingga lulus SD bahkan hingga sekarang, walau menjadi nomor 2 lebih sering aku dapatkan, itu membuatku menjadi selalu ingin lebih baik, bukan menjadi yang terbaik tapi selalu berusaha untuk mencoba melakukan segalanya dengan terbaik.

Berawal dari menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana dari seorang teman yang berlanjut pada belajar kelompok dengan teman-teman, membuatku merasa nyaman, bahagia dan membanggakan ketika menerima ucapan “Arif, makasih yah udah ngajarin” berawal dari sini, membuatku mantap untuk menjadi seorang Pendidik. Praktek mengajar pertamaku adalah ketika mengajar Geografi, ketika itu aku masih kelas 3 SMP dan harus menggantikan Guru Geografi yang berhalangan hadir karena sakit, mengajar peratama kali tentang Sejarah, jenis dan fenomeana danau di depan kelas, masih kurang begitu menyeramkan, karena ketika itu masih kurang begitu memikirkan proses penyampaian, yang penting adik kelas mengerti dan mampu menjawab pertanyaan.

Menginjak masa SMA cita-citaku tak berubah, masih keukeuh ingin menjadi seorang pendidik, aku beruntung dapat mengajar siswa/I yang les fisika di sebuah tempat les sederhana, tapi yang membedakan adalah aku mengajar anak kelas 3 SMA yang apabila mereka tidak mengerti dan tidak dapat menjawab pertanyaan, maka mereka akan TIDAK LULUS, disinilah arti penting dari motivasi dari Sang Pendidik. Mengajar bukan hanya tugas formal membantu siswa menjawab sebuah pertanyaan, tapi bagaimana membuat siswa tersebut memahami kemampuannya dalam menjawab pertanyaan di soal dan kehidupan. Mendidik memiliki makna yang lebih luas dari sekedar mengajar, mendidik memiliki tanggung jawab moral, pendidik bukan hanya seorang guru yang menjelaskan di depan, tapi lebih kepada sesosok individu yang sangat diharapkan untuk membantu anak didiknya meraih masa depan.

Sukses mengajar di SMA tak membuatku otomatis lulus SPMB (sekarang SNMPTN), aku malah harus terdampar di sudut selatan Ibukota, dan dengan terpaksa mengajar kembali, bukan di sekolah atau di tempat les, bukan siswa berseragam yang sopan, baik dan penurut, namun balita yang orang tuanya ingin anaknya belajar membaca buku Iqra, siswa/I SMP yang gagal naik kelas karena benci guru-gurunya, keponakan seorang artis yang terlalu dimanja sehingga menggampangkan sekolah. Anak-anak ini aku temani setiap sore dengan harapan sang orang tua, semoga bisa menjadi lebih baik dan bertanggung jawab.

Berawal dari rasa terpaksa, membuatku menyadari bahwa mendidik harus dapat menjadi bagian dari kehidupan bukan sekedar penghidupan. Enam bulan merupakan proses yang “nano nano” hingga mereka menghilangkan warna merah di raport, dan sang balita mulai memegang Al Quran. Apakah pendidik harus mengembangkan karir? Absolutely! Menerima gaji Rp. 3.000.000/bulan ketika umur 18 tahun dan berprofesi sebagai pengajar di sebuah lembaga pendidikan formal membuatku terus meningkatkan kemampuan mendidik sang peserta didik. Namun, kita mempunyai takdir, dan takdir ibarat sebuah roda, kadang di atas, kadang di bawah. Bersambung…

1 comment: